Ayah dan Pelajaran Tentang Kesetiaan

inspired from a piece from pinterest.

Di kepala saya sepanjang hidup, seorang Ayah itu diam, nggak menunjukkan emosi, gengsi setengah mati, dan jarang banget ngomongin pikiran tentang keluarganya. Kecuali lagi marah-marah atau nyombong sama tetangga. Juga keras; tidak punya belas kasihan dan tidak bisa berkata-kata manis.

Itulah Ayah saya, yang alhamdulillah masih bisa saya temui hingga saat ini.

Makanya, saya selalu senang mengunjungi personal blog-nya Mas Anton, karena bisa melihat perspektif lain dari seorang Bapak dan Suami. 

Usia Mas Anton memang lebih muda dari Ayah saya (kira-kira delapan-sembilan tahun bedanya), namun karena beliau punya anak yang menjelang dewasa muda - saya jadi suka terpancing untuk berpikir, kira-kira apa ya yang Ayah saya pikirkan ketika saya seumur si Kribo, anaknya mas Anton? :D

Hal itu saya utarakan kemarin-kemarin di sebuah post yang beliau buat.

Nah, Mas Anton menjawab, banyak hal yang sebenarnya dipikirkan oleh seorang bapak/suami setiap harinya, hanya saja karena Ayah saya bukan blogger, jadinya nggak bisa dibicarakan. 

Saya juga waktu itu pernah berkomentar di blog mbak Eno yang pernah bercerita tentang Ayahnya; (lupa postnya, soalnya tahun kemarin hahaha... 😅) tentang Ayah saya yang nggak bisa memberikan nasihat, jadi harus kami-kami yang melihat dengan teliti untuk mengambil pelajaran hidup dari beliau. Learning by watching.

Berkat post-post itu, saya jadi memikirkan lebih lanjut soal sosok Ayah saya (terutama setelah ngomen di post Mas Anton, sih... hehe). Maka jadilah tulisan ini. Agak lebih panjang dari biasanya--nulisnya juga. 😄

***

Selama ini saya suka bercerita tentang Ibu saya lewat blog; ada beberapa postnya masih tertinggal di sini dan tidak saya arsip. Cerita tingkah-polah beliau muncul lewat berbagai ingatan, entah sekilas maupun panjang. Meskipun beliau hanya ada sampai usia saya enam belas, ada banyak memori yang saya miliki karena saya sering sekali berinteraksi dengan beliau.

Ini karena Ibu saya sangat supel pada anak-anaknya. Meskipun sibuk, dia masih menyempatkan membacakan buku atau mengajak bermain. Beliau juga-lah yang mendengarkan saya kalau curhat soal sekolah maupun cowok, meskipun sehabis itu saya dimarahi karena nggak boleh pacaran. 

(Little did she know, tentu saja saya pacaran backstreet)

Sebaliknya, Ayah saya kaku, istilahnya kayak kanebo kering. Seperti banyak orangtua jadul lainnya, Ayah saya jarang sekali muncul ke dalam interaksi bersama anak-anaknya. Beliau sering pulang kerja dini hari, berangkat siang hari saat anak-anaknya di sekolah. Atau malah pergi berhari-hari dan pulang hanya untuk tidur.

Beliau jarang sekali bicara pada anak-anaknya selain tentang mengingatkan sesuatu, memarahi tentang sesuatu, atau meminta sesuatu, atau memberikan sesuatu.  Hal ini konsisten sampai sekarang; bahkan setelah Ibu tidak ada bertahun-tahun.

Jadinya, saya selalu menganggap Ayah nggak memperhatikan saya. Bagaimana caranya tahu, kalau ngajak ngobrol juga nggak pernah, iya ‘kan?

Tidak heran, tahun-tahun pertama ketika Ibu saya tiada, hobi saya adalah bertengkar dengan Ayah. Saya tidak pernah mengerti apa mau beliau, dan beliau tidak pernah mengerti apa mau saya - yang berujung dengan kebandelan saya. 

Kami “mengobrol” lewat rapor merah, anak perempuan pertamanya yang pulang kemalaman, ancaman nggak naik kelas, serta perang mulut hampir tiap hari. Saya juga sering “kabur”, ke rumah sahabat baik Ibu saya (kebetulan tetangga), untuk nangis dan mengeluh.

Looking back, ada banyak hal yang saya sesali karena saya memilih untuk mengajak ayah saya berantem mulut, padahal saya bisa mendengarkan dengan baik. Maklum, namanya juga remaja haus eksistensi dan validasi. Saya merasa nggak bisa belajar apa-apa dari beliau. Malah ampun, sebagai anak nakal, saya pernah merasa keberadaan beliau sia-sia. Astaghfirullah!

Seiring dengan bertambahnya usia saya (dan Ayah), saya belajar melihat watak dan tabiat beliau dari perspektif lain. Ada banyak hal menyebalkan dari beliau, masih; namun banyak hal yang bisa saya pelajari dari beliau, walaupun beliau tidak pernah mengatakan atau menasihati secara langsung.

Pelajaran berharga yang tidak bisa saya dapatkan dalam buku -- yang juga menjadi patokan tatkala saya memulai keluarga saya sendiri.

***

Satu yang pasti adalah: Ayah saya keras, tapi cinta mati sama Ibu saya. (Lah iya ya, kan orangnya juga sudah nggak ada. #gelap)

Sewaktu keduanya masih aktif bekerja, Ayah rutin menelepon ke rumah setiap sore, untuk bertanya apakah Ibu sudah pulang. Terlebih saat Ibu mulai menjalani pengobatan, tapi masih ngantor: telepon berbunyi sekitar pukul lima sore, itu sudah jelas dari siapa. Isinya pendek saja. 

“Ibu sudah pulang belum?”

“Belum, Yah. Tapi-”

“Oke.”

TUUT TUUT TUUT.

Lalu setelah itu dengan bete saya akan menekan lagi nomor ponsel Ayah, dan begitu diangkat saya ngomong sambil bersungut, “AKU MAU DIBAWAIN MARTABAK!”

Segitunya, sampai buat anak nanti-nanti deh, yang penting istri gue dulu. Huahahaha.

Ngomong-ngomong, Ayah pernah terkenal di seantero RW tempat kami tinggal. Apa pasal? Beliau pernah jadi dukun beranak untuk tetangga! 

Benar-benar membantu si Ibu melahirkan, karena saat itu bayinya dilahirkan di mobil dalam perjalanan menuju rumah sakit. Karena si suami shock, suaminya didapuk jadi sopir, sementara Ayah di belakang dan jadi dukun beranak. Sampai rumah sakit, tentu saja IGD yang shock melihat bayinya sudah lahir di kursi tengah mobil, dan Ayah dikira suaminya. 

("Bukan, saya bantu melahirkan aja!" Ayah saya menukas, sambil sewot).

Cerita ini tentu saja jadi kenang-kenangan. Bahkan anak yang lahir -- sekarang sudah abege, sudah mau kuliah -- sering dipanggil dengan sebutan “anak si Ayah” oleh orangtuanya sendiri. Kebetulan, memang hanya Ayah yang dipanggil “Ayah” di sederetan jalan rumah kami, waktu itu.

Dari situ saya baru tahu kalau Ayah selalu menemani Ibu lahiran di tiga momen melahirkannya, dan selalu melihat prosesnya dari awal sampai selesai. Saya baru tahu juga kalau tidak semua suami punya kesempatan atau sanggup melihat proses tersebut.

Dan mungkin hanya segelintir yang sempat mempraktekkan apa yang dia lihat itu, padahal dia bukan dokter. Sungguh Ayah yang ajaib.

***


Saat saya sudah dewasa, saya baru tahu kalau ada cerita suami yang meninggalkan istrinya karena dia sakit berat. Saya baru tahu kalau ada cerita suami yang memulangkan istrinya ketika dia sudah tidak bisa lagi melayani suami. 

Saya baru tahu kalau ada suami yang tidak tahan ketika istrinya sudah tidak lagi cantik karena penyakit, atau yang tidak kuat mengurus istri dengan penyakit berat sehingga diserahkan kepada orangtua si istri untuk merawat.

Entah berapa milyar rupiah yang habis untuk pengobatan Ibu saya waktu itu. Ayah sepertinya sudah tidak menghitung lagi. Meskipun dibantu dengan asuransi swasta, namun kanker tidak pernah tidak menyedot biaya. Semua habis, termasuk segala yang tadinya disimpan untuk masa depan.

Ayah tidak pernah berhenti bekerja. Tidak berhenti mencari obat, entah alternatif atau terapi lain karena tubuh Ibu tidak cocok dengan kemoterapi. Saya tidak pernah berpikir lebih jauh soal itu. Saya pikir, menemani istri yang sakit itu mutlak - karena itulah yang dilakukan Ayah saya.

Saya waktu itu masih remaja, tidak paham kalau ada yang namanya kebutuhan biologis di antara suami-istri. Tidak tahu kalau Ibu saya merasa bersalah dan meminta Ayah menikah lagi; yang langsung membuat Ayah marah untuk beberapa hari.

Tidak paham kalau mencari uang itu tidak serta-merta muncul dari “gaji bulanan”. Ada pertukaran yang dilakukan: entah tenaga, entah uang, entah hutang.

Saya hanya tahu bahwa Ayah terlalu sibuk untuk Ibu, Ibu tidak bisa apa-apa karena sakit. Saya kabur dari rumah, untuk bermain, untuk pergi dari suasana rumah yang tidak enak dan rumah sakit. Nilai saya anjlok. Saya tidak peduli.

Sewaktu Ibu sakit, Ayah-lah yang kesana-kemari mengurus administrasi, menginap di rumah sakit, mencarikan obat. Menemani kontrol dan mengurus semuanya saat Ibu saya tidak bisa bergerak dengan baik. 

Memandikan, membersihkan kotoran, luka yang sulit mengering dan berbau, dan menampung muntah berisi sekian jenis obat keras. Menemani kemoterapi - yang gagal karena tidak cocok dengan efek sampingnya - dan rambut yang terus-menerus rontok. Mungkin hal itu membawa trauma tertentu dalam diri Ayah, karena sampai sekarang, dia seringkali menghindar kalau diharuskan menginap di rumah sakit (untuk menjaga saudara atau yang lainnya). 

Saya sendiri merasakan hal yang sama. Ada kekhawatiran yang tidak bisa dijelaskan bila saya berada di Rumah Sakit, padahal tidak ada hal signifikan yang terjadi.

Kadangkala saya menggantikan Ayah kalau beliau harus ke luar kota dan tidak bisa menjaga Ibu. Saya tidak pernah tenang. Selalu was-was, takut tidak bisa berbuat apa-apa. Saat dihadapkan dengan Ibu yang muntah obat--baunya berbeda dengan muntah makanan--, ada perasaan jijik tapi juga merasa bersalah. Butuh waktu lama sampai saya terbiasa.

Padahal, waktu itu saya tidak diberi tanggung jawab apa pun selain menunggui Ibu beberapa hari seminggu. Tidak memiliki pengertian yang lebih dari sekadar Ibu sakit dan harus berobat. Tidak tahu bahwa ada vonis dokter yang bilang usianya kurang dari setahun lagi, dan Ayah-lah yang mendengarnya.

Saya tidak tahu apa yang dipikirkan Ayah tentang itu; namun yang pasti beliau ada, sampai akhir hayat Ibu. Ayah-lah yang Ibu peluk untuk terakhir kalinya sebelum pergi dari dunia.

***

Saat saya sudah dewasa, saya baru tahu kalau ada cerita suami yang menikah tiga bulan setelah istrinya meninggal. Bahwa suami yang menikah setahun kemudian itu lazim. Bahwa menurut tetangga saya, wajar kalau laki-laki menikah lagi, itu wajib karena ada kebutuhan.

Empat tahun sampai akhirnya Ayah menikah. Ditambah dua-tiga tahun ketika Ibu mulai sakit berat dan mungkin tidak bisa memenuhi kebutuhan beliau. 

Sebelum akhirnya menikah dengan istri keduanya, tentu saja ada yang mendekati--atau didekati Ayah. Ada yang mencoba mendekati kami, anak-anaknya, dengan uang atau barang. Ada yang merengut karena foto-foto Ibu masih terpajang di dinding ruang tamu, ruang tengah, dan kamar. 

Konon ada yang berkomentar bertanya mengapa foto-fotonya masih terpajang. Orang itu langsung diusir.

Dulu saya pikir itu wajar. Tapi kalau dipikir-pikir, ya, siapa yang nggak akan bete kalau pedekate sama orang yang nggak bisa move on? Hahaha. Bikin insecure aja kan ya. Emang risiko sih, tapi maaf ya, buat saya yang sifat monopolinya tinggi, mana sanggup saya jadi istri laki-laki kayak Ayah. 😅

Sekarang, saya berkomentar pada adik perempuan saya. “Kalau aku jadi istri Ayah setelah Ibu, males banget deh. Gagal move on terus, foto mendiang istri aja nggak boleh diturunin!”Adik saya ngakak, saya juga tertawa, karena di balik candaan itu, ada rasa bangga. Dan tentu saja itu jadi sebuah patokan. Kalau saya punya pasangan, saya ingin yang se-kuat Ayah… rasa setianya.

(Tapi kalau sakit berat dulu, jangan sampai sih… saya mau meninggal yang tidak menyusahkan atau berkepanjangan prosesnya.)

Ayah menikah lagi dengan kakak kelas Ibu. Orangnya baik hati, meskipun saya dan adik-adik sempat galak. Meskipun tentu saja sempat drama-dramaan dulu sebelum akhirnya menikah lagi.

In some ways, I can see mother’s resemblance in her. Bukan berarti mirip, tapi feel-nya sama. Meskipun begitu, karena Ayah sepertinya kenal dengan kakak kelasnya Ibu lebih dulu, saya nggak tahu sih siapa mirip yang mana. 😄

Istri Ayah yang kedua tidak pernah minta foto Ibu untuk diturunkan. Tidak pernah berkomentar buruk tentang Ibu kami. Atas dasar itu juga, kami--saya dan adik-adik saya--menghormatinya dan menyayangi beliau, dengan cara yang berbeda dengan kami menyayangi Ibu kami sendiri.

Pernikahan itu tidak bertahan lama--hanya lima tahun--tapi kami masih berhubungan baik dan menganggap satu sama lain sebagai keluarga.

***


Baru-baru ini, Ayah pindah rumah: ke rumah yang tidak jauh dari rumah kami yang lama. Ada keluarga yang memerlukan rumah lebih besar untuk keluarganya yang tumbuh, dan Ayah menawarkan untuk bertukar tambah.

Rumah yang lama memang terlalu besar. Ada lima kamar, sementara penghuni rumah sekarang tinggal tiga (adik perempuan saya pun kost, sehingga tinggal berdua). Sementara rumah yang sekarang jauh lebih kecil, tiga kamar saja.

Dulu, Ibu yang ingin merenovasi rumah supaya kamarnya ditambah. Agar semua anaknya bisa berkumpul dan punya kamar masing-masing. Sayang, dua tahun setelah rumah selesai, Ibu meninggal. Dengan hasil penjualan rumah tersebut, Ayah menyelesaikan semua kewajiban yang tersisa dari pengobatan Ibu yang panjang itu. Wajahnya tampak lega saat akhirnya pindahan selesai.

Duduk-duduk di kursi ruang tamu yang sekarang lebih sempit, dengan foto Ibu yang sekarang sedang dilap untuk dipasang di tempat baru, beliau lebih tenang, wajahnya lebih ringan. 

“Enak rumah yang ini, lebih kecil. Di rumah yang lama keinget Ibu terus.”

Kalau dulu, ketika saya masih kecil dan belum mengerti Ayah, mungkin saya akan sewot. Berpikir bahwa Ayah sekarang mulai melupakan, mau melupakan. Namun siapa lagi yang paling sakit hati, paling merasa ditinggalkan ketika Ibu tiada? Saya tidak bisa mengukur, namun saya tahu Ayah-lah yang kehilangan separuh hidupnya.

Karena itu, mendengar hal itu sekarang, saya dan adik-adik saya turut lega. Sekian belas tahun dan akhirnya Ayah bisa melepas beban itu dengan nyaman. 

Sebagian besar tentu karena beliau akhirnya bisa melunasi sisa hutang pengobatan Ibu, tapi tentu pindah ke tempat baru juga berpengaruh. 😄

***

Ayah dan Ibu saya sungguh bertolak belakang. Ayah tidak banyak bicara, Ibu cerewet; Ibu bersikap seperti teman, dan Ayah bagi saya seperti tiran yang hanya menghukum serta memarahi tanpa tahu apa yang saya jalani. 

Beliau cuek, jarang pulang, ketika bertanya hanya menanyakan Ibu. Kurang apa lagi?

Mungkin karena itu juga, efeknya, saya jadi menganggap Ayah saya sebagai antagonis. Dan Ibu saya si protagonis yang selalu membela serta mengakomodasi. Sehingga saat Ibu tidak ada, tensi kami sama-sama hipersensitif dan mengundang pertengkaran nyaris setiap hari. 

Melihat ke belakang, saya adalah anak yang paling sering adu mulut dengan Ayah saya. Padahal saya punya adik laki-laki juga--yang saya pikir akan adu mulut saat tiba waktunya dia remaja. 

Ternyata tidak, karena saya masih pemegang piala juara. Selain karena saya anak pertama, itu juga karena kami sangat mirip dalam banyak hal.


“Males aku kalau denger kamu debat sama Ayah. Berasa denger orang ngomong sama cermin.”  - Adik perempuan saya, manusia paling jujur pada saya sedunia.


Then again… namanya juga anak muda, banyak dosanya ke orangtua, bahkan sampai sekarang.

Karena meskipun tidak bisa mengatakan dengan baik, Ayah menyayangi kami dengan caranya sendiri. Karena beliau tidak bisa berkata-kata, maka kami-lah yang menangkapnya dari cara beliau bersikap.

Kalau ada cerita orang tua yang mempersulit anaknya menikah, Ayah saya bukan satu di antaranya. Beliau sama sekali tidak “menginterogasi” Abang seperti yang saya lihat di film-film remaja. Tidak menuntut calon suami saya harus a, b, c, d, seperti yang saya lihat di telenovela.

Beliau hanya bertanya pada kami berdua: Kalian yakin? Kalau yakin, maka jalankan. Pilihan sendiri, bertanggung jawablah sendiri. Karena saat menikah, suami istri hanya punya satu sama lain.

“Turuti apa kata suami kamu benar-benar. Bahkan meskipun dia melarang kamu ketemu Ayah, harus dituruti.” Itu kata beliau ketika saya sungkem padanya setelah akad nikah.

Memang berlebihan, karena saya tahu kalau suami saya tidak akan melarang saya bertemu Ayah, dan saya juga tidak akan tinggal diam kalau dilarang. Namun saya paham apa esensi beliau mengatakan itu. Ia telah melepas saya. Peran utama saya tidak lagi jadi anaknya, tapi jadi istri dari seorang laki-laki, dan ia merestui itu.

Dan sungguh; setelah saya menikah, baru saya merasakan apa itu “biduk” rumah tangga. 

Memang, pernikahan saya baru seumur jagung. Namun sedikit banyak saya bisa merasakan mengapa orang-orang bilang menikah itu seperti mendayung bahtera.

Saya pikir dulu Ayah dan Ibu saya mudah-mudah saja untuk bisa menerima satu sama lain, namun memikirkan apa yang telah terjadi, ingatan masa kecil, dan momen-momen yang keluarga kami lewati, coba: 

Apakah saya sanggup menjalaninya kalau saya yang mendapatkan hal tersebut?

Saat suami sakit, saya sudah sangat khawatir dan takut. Saat suami sedang tugas ke luar kota, seringkali saya juga khawatir. Saat saya sakit, tentu saja suami saya juga khawatir, dan saya jadi merasa bahwa saya merepotkan.

Ada waktunya ketika kami bertengkar dan saya khawatir--apakah luka ini akan sembuh? Apakah pernikahan kami akan baik-baik saja? 

Bagaimana cara orangtua saya menghadapi hal semacam ini ketika ini terjadi?

Masih panjang jalannya untuk kami.

Karena Ayah percaya pada pilihan saya, pilihan kami untuk berumahtangga; maka saya juga akan percaya pada kemampuan kami untuk menjaga rumah tangga ini.

***

Ayah saya sampai sekarang masih kaku dan susah ngobrol dengan anak-anaknya. Tapi kami perlahan tahu cara bicara dengan beliau, dan mengerti kalau beliau hanya ingin didengarkan bercerita - namun kesulitan mengatakannya.

Saya juga masih terus belajar tentang cara berkomunikasi dengan beliau. Masih hanya bisa memeluk beliau beberapa tahun sekali, karena tidak terbiasa. Masih kaku juga dalam merespons dan bercerita.

Ayah saya sampai sekarang masih tidak berekspresi, jarang sekali mengatakan hal yang ada di hatinya. Beliau hanya sempat menikah tujuh belas tahun, terlalu sebentar dibandingkan Ibu-Bapak Mertua yang sudah puluhan tahun.

Namun dari Ayah-lah saya belajar tentang arti kesetiaan: tentang menemani pasangan hidup sampai akhir hayat, dan menjaga anak-anak sepenuh badannya mampu.

Seorang panutan yang sampai sekarang tidak tergantikan.


Terima kasih sudah membaca.
 
Salam,
Mega



Komentar

  1. Huaaaa, baca post ini pagi-pagi, langsung membuat saya berkaca-kaca. Untuk WFH jadi nggak perlu make up-an paripurna 🤧

    Saya paling nggak kuat kalau ada bahasan soal Ayah, sebab Ayah itu sosok yang manis dan hangat untuk saya huhuhu. Betul-betul cinta pertama~ by the way, topik kita hari ini hampir sama related to ayah tapi saya cuma share lagu sih 🤣 Wk.

    Mba Mega, semoga Ayah mba Mega bisa selalu diberkahi rizki sehat yaaa. Dan umur panjang. Saya yakin meski Ayah mba Mega bukan tipe yang banyak bicara, namun Ayah sangat amat sayanggg sama mba. Apalagi mba mutiara pertamanya 😍 Plus semoga mba dan Abang bisa langgeng sama-sama hingga akhir hayat seperti Ayah dan Ibu mba 😄

    Terima kasih untuk ceritanya, pagi ini saya bisa memulai hari dengan hati lebih hangat 💕

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuh... ada zoom meeting nggak tuh, Mbak? Nanti dikira abis ada apaan gitu, padahal mah cuma browsing 🤣 🤣

      Hihihi, "ketemuan" di topik ya kita. Tapi Ayah buat saya bukan cinta pertama, melainkan cinta yang baru ditemukan bertahun-tahun setelah dewasa. Mungkin karena sama-sama susah berkomunikasi, jadinya saya susah sekali menemukan bagaimana cara beliau mencintai saya.

      istilah kerennya, love languagenya ga nyambung 🤣🤣

      Terima kasih doanya Mbak Eno... banyak hal yang belum bisa saya lakukan untuk orangtua, tapi kayaknya anak mah nggak akan pernah bisa membalas yaaa. Jadi selain mencoba melakukan yang terbaik, saya mencontoh yang baik-baik juga buat rumah tangga sendiri. Mari kita sama-sama pasangan kita sampai tua, Mbak Eno dan kesayangan jugaaa 😆

      Terima kasih sudah berbagi cerita tentang Ayah... memang ayah itu istimewa. hihihi

      Hapus
  2. Whoaaaaaaaaa.......... Cerita yang menyentuh sekali Mega. Saya sampai baca dua kali. Terima kasih sudah berbagi kisah tentang bapak, saya jadi merasa punya "teman sejawat", meski pun tentunya si Kribo tidak menganggap saya kanebo kering.. Hahahaha...

    Terus terang, saya tidak bisa komentar apa-apa lagi.. Trenyuh bacanya dan saya kagum kepada bapakmu dan ibumu juga. Memang hanya 17 tahun, tetapi bukan mereka berdua yang memisahkan diri, tetapi Yang Maka Kuasa yang memberi putusan. Kalau diberi kesempatan, saya yakin mereka pasti akan terus berjalan.

    Nggak usah terlalu banyak dipikirkan Mega, mau berantem ya berantem ajah.. wakakakak namanya juga dua orang yang berbeda dalam satu rumah, kalo ga berantem ga seru..

    Saya pikir menikah adalah tentang bagaimana menikmati proses dan bukan sekedar menunggu hasil. Proses bagaimana menyatukan dua orang yang berbeda. Jadi ya jalani dan nikmati saja, nda usah mikir ruwet, walau kadang memang ruwet.. wakaka

    Terima kasih banyak Mega untuk sharingnya.. Bener kata Eno.. Pagi ini terasa hangat banget..

    Matur nuwun sanget yah..



    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... beda usia delapan-sembilan tahun sebenernya lumayan ya Mas, tapi sepertinya kalau sudah berusia matang jadi nggak terlalu berarti, apalagi sesama "Ayah". Sama seperti saya yang enjoy baca sudut pandang Mas Anton di blog personal, Mas Anton juga mungkin dapat menemukan sudut pandang Ayah dari seorang anak (meskipun kalau ini anak perempuan).

      Wkwkwkwk.... iya nih saya belum sampai situ. masih suka khawatiran kalau berantem, malah jadinya nggak pede sama pribadi masing-masing nggak sih? Semoga nantinya saya juga bisa gitu, berantem ya berantem aja, nggak khawatir karena toh yakin dengan kepercayaan satu sama lain. 😄 masih menikmati, dan akan terus menikmati prosesnya bertahun-tahun ke depan.

      Terima kasih juga sudah berbagi mas...

      Hapus
  3. aku jadi terharu biru 🤧
    ayahku juga begitu Mbak. sangat keras dan kaku
    sewaktu kecil aku juga nggak begitu akrab dan seringkali nggak nyaman
    tapi beranjak dewasa aku jadi paham, sosok ayah memang tipe yang nggak mudah mengungkapkan perasaannya

    makasih ya Mbak Mega. saya jadi belajar dan ingat lagi beberapa memori
    btw, salam kenal ya mbak 🌻

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayah-ayah di kebanyakan masyarakat Indonesia kayaknya pada begitu ya mbak, mungkin karena laki-laki dibesarkan dengan budaya patriarki yang melarang menangis atau menunjukkan perasaan. Terlebih mereka punya tanggung jawab besar ketika menjadi Ayah.

      Ayah saya juga selalu menunjukkan kalau dia bisa dan serba bisa. padahal dia tentu manusia biasa seperti saya, pernah lelah dan ingin menyerah. Terlebih waktu menemani Ibu yang sakit-sakitan.

      Salam kenal juga mbak, makasih banget lhooo udah mampir... senang bisa berbagi juga 😁

      Hapus
  4. kok sedih ya baca ini mega....berasa gitu di hati hihihi...berasa ada sesuatu yang apa ya...susah diungkap dengan kata kata...tapi pokoknya 'dalem' banget...terlebih pas foto alm ibunya mega masih dipajang hehehe...dan ibu sambung ga ada masalah akan hal itu...dan kesetiaan seorang ayah yang walau tanpa ekspresi atawa kaku tapi kita sebagai anak bisa merasakannya dari hati hehehe...


    kalau masalah anak mbarep biasanya gitu sih meg...kakak aku juga sama... keras...tapi dia paling dekat dengan bapak. ya sama kurang lebih...bapakku juga orangnya ga pintar mengekspresikan rasa cinta tapi aku tahu beliau sayang keluarga dan care banget orangnya. Beliau juga ga mempersulit aku waktu mau nikah dulu...walau suami aku istilah kata anak petani dan kami lingkup pns... tapi ndilalahnya suami orangnya ulet jadi alhamdulilah ya ada lah bisa dibilang siap nikah (mapan sih belum)...cuma uda siap sambil sama sama nabung..tapi bapakku ga pernah segalak kayak yang bapak bapak di film film remaja waktu anak ceweknya dideketin cowo hihi..dan itu langsung jadi sih soalnya aku oacaran cuma sekali dengan suamiku itu hahahhahah...paling iya sama masalah apa apa ibu yang cerewet...sampai sekarang pun masih...tapi aku tau mereka kedua orang tuakh cerewet ya karena care...

    betewe ya begitulah hidup ya mega...kita akan menua...dan ga tau jalan ke depan kayak gimana, siapa diantara kita dan pasangan yang akan meninggal duluan...duh akuuu ya sama nih bagian ini...suka parnoan terlebih kalau suami ada tugas naik oesawat uda deh semalam malam bawaaannya tahajuud aja biar mastiin sampe tujuan dan bisa balik dengan selamat..huhu...rasa ini emang susah dihindari sih...kuatirann huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Merasakan dari hatinya setelah sering berantem dulu itu, mbak... hehehhee.... terima kasih sudah mampir 😆

      Nah iya betul... tiap kali inget Ayah sama Ibu tuh akyu jadi suka berkaca sama pernikahanku sendiri (yang baruuuu banget kayak bayi baru lahiran). Duh, nikah itu ternyata ngeri ya, karena kita bener2 sama-sama terus, saling membutuhkan juga... Kalau ditinggal duluan, piyeee? Kalo ninggal duluan, piyeeee?? (lha kok jadi Jawa'en)

      Yah, karena katanya Allah nggak akan ngasih sesuatu tanpa tujuan, jadi kita nggak boleh takut sebenernya ya Mba... tapi namanya juga manusia. Saya masih pengen sama-sama suamik sampe tua nanti 🤣

      Hapus
  5. This writing gives me so much feeling, Mba Mega 😢

    Cerita anak dengan orangtuanya itu unik dan spesial, ya. Aku bisa membayangkan sih gimana capernya Mba Mega sama Ayah karena beliau bawaannya terlalu 'cool' 😂 tapi dengan sikap yang demikian aku jujur terharu sekali gimana besarnya cinta ayah dengan ibu ya, Mbaa huhu

    Tapi semakin aku dewasa dan berkeluarga, aku mulai bisa 'melihat' bagaimana bahasa cinta kedua orangtuaku. Waktu muda (halah) lihat mereka debat males banget rasanya (sekarang juga sih 🤣), lebih males lagi liat mereka mencoba romantis wkwkwk tapi sisi romantis itu malah terlihat berbeda dari kacamataku sekarang.

    Kalau soal hubungan dengan ayah, aku sedikit punya persamaan dengan Mba Eno. Papaku itu sosok yang aku look up banget dari kecil sampai sekarang. Not because he's perfect, justru beliau banyak flaw-nya dan dia nggak ragu untuk menunjukkan itu ke anak-anaknya. Sampai sekarang aku nikah nih, akutu masih ngerasa banget papa nganggep aku anak cewek dia yang masih berusia 10 tahun. Salah satu sisi kesel apasihh udah gede gue nih, mana udah beranak dua kan 😂 tapi salah satu sisi bersyukur banget masih punya sosok ayah yang masih memperhatikan aku 😢

    Doaku buat Ayah Mba Mega selalu sehat dan dijaga oleh-Nya ya. Dan semoga pernikahan Mba Mega juga terus langgeng sampai akhir hayat seperti Ayah dan Ibu 💕

    Hujan-hujan baca ini sesuatu banget lhoo, Mbaa hauhaha *diem diem lap ingus* thank you for sharing this ❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, dulu saya caper banget mbak. Bilangnya ya gitu, nggak peduli, padahal justru saya yang paling banyak ngemis perhatian beliau. hihihi... Sampai sekarang juga kayaknya gitu deh. (Dan Ayah tetap cinta mati).

      Emang yaaa, keluarga tuh punya gaya dan cara sendiri-sendiri. Kadang kita suka iri sama keluarga orang, kayaknya lebih baik dan lebih enak. Padahal kita punya sisi keunggulan masing-masing.

      Tapi kadang, emang rasa iri is inevitable. mbak eno dan mbak jane pasti senenggg banget ya punya ayah yang manjain gitu 😁 beneran deh, saya tuh mau meluk ayah aja mesti mikir-mikir dulu, ada special ocassion, dan didiskusikan sama adik proper atau enggak. macam apaaa coba???? 😅😅

      Tapi tentu, doa kita sama. Semoga kita bisa tumbuh tua dengan pasangan masing-masing. Serta diberikan waktu lebih banyak untuk bersama keluarga. Huhuhu, apalagi mbak e lagi mellow gegara baby juga nih yaa 😆 (menuduh si baby) (dikeplak)

      Terima kasih juga sudah berbagii! Senang bisa berbagi space di sini...

      Hapus
  6. Megaaaa, maafkaaannnn...
    Saya semacam menyesal baca ini, karena bikin air mata tumpah, huhuhuhu.

    Bapak saya sepertinya kebalikan dari ayahnya Mega, beliau orang yang keras dan pemarah, tapi di sisi lain beliau orang yang supel, suka banget ngasih kami nasihat, hanya saja saya sulit dengan beliau karena mama selalu curhat tentang beliau.

    Sementara mama, dia lebih suka diam, jarang memberi masukan, jadi nggak heran saya tumbuh jadi anak kek tomboy hahahaha.
    Benci banget ama dapur, nggak tahu cara melayani suami seperti cara ibu mertua saya melayani suaminya.

    Kacau deh.

    Tapi satu hal yang saya pelajari, saya terkecoh dengan sikap keras tersebut.

    Gara-gara bapak saya keras, saya jadi takut dekat dengan lelaki yang keras, sejak remaja saya ditaksir ama lelaki-lelaki yang membuktikan tetap setia mengejar saya bertahun-tahun, tapi saya ogah, saya takut dekat dengan orang keras.

    Saya ketemu paksu, seseorang yang lebih diam, lebih bisa mengalah dari saya, eh nyatanya bertahun kemudian saya sadar, bahwa lelaki keras itu lebih baik, agar nggak mudah menyerah.
    Dan biasanya, lelaki keras itu setia dan cinta mati sama pasangannya.

    Seperti bapak saya, semenyebalkan gimanapun mama saya, blio tak pernah bisa pergi darinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin pada akhirnya pernikahan emang begitu ya mbak. Segimana menyebalkannya, tapi nggak bisa pergi. Kalau pas masih kecil saya mikir ya nikah tuh simpel. Saling cinta selesai. Tapi ya kompleks banget ternyata setelah mengalami sendiri.

      Atau kompleks karena kita bikin ribet ya, mbak? *nyengir nyengir aja kalau gini

      Huhuhu, kalau soal melayani suami, saya juga payah nih mbak. Apalagi si ibu dulu wanita karir, dan saya cuma ingat-ingat tipis... bener-bener bingung pas menikah, karena suamik adalah anak yang sangat ditelateni mamaknya.

      Kalau soal laki-laki yang keras itu biasanya setia, saya kurang tahu juga karena blm bisa mbuktiken. Saya justru nyari lelaki yang "lebih bisa diajak ngomong" dibanding Ayah saya yang keras itu. Trus ternyata kecele, suami juga sekeras batu tapi dengan bentukan lain 😆😆 kadang saya suka parno.

      Tapi kembali lagi, suami kan bukan ayah saya, jadi harus mereframe pikiran. suami ya dia sendiri, yang saya hadapi ya suami, tidak akan sama pengalamannya dengan menghadapi ayah.

      Meskipun kita nggak sempurna, meskipun kita juga pasti nyebelin dan pasangan bisa sama nyebelin, semoga kita bisa menjalani yang terbaik dalam pernikahan masing-masing, ya mbak...

      Hapus
  7. cinta sejati... baca ini jadi inget almarhum bapak aku, bapak aku tipe orang yang nggak banyak omong ke anak anaknya, dirumah pun kalau aku ga ada perlu perlu banget ya jarang ngobrol yang gimana gimana.
    sempet terpikir nantinya pengen cari calon suami yang kayak bapakku :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. berarti, bapak berkesan banget buat mbak ya, sampai kepikiran mau calon suami yang kayak bapak 😄 aku malah kebalikan, nggak pengen yang mirip Ayah karena sejarah kami yang sering bertengkar.

      Ehhh... ternyata masih mirip-mirip juga. udah jodoh kayaknya 😂

      Hapus
  8. Terima kasih banyak mas, sudah mampir.... Sepertinya memang sifat bawaan laki-laki begitu ya, dari cara dibesarkannya begitu. :D

    Senang bisa baca perspektif dari seorang laki-laki juga. Sepertinya Mas Ikrom bisa ngerti-ngerti dikit deh yaa pikiran Ayah saya yang lebih milih diam itu.. 😄

    BalasHapus
  9. Terhitung tiga kali baca ulang tulisan ini, tapi baru sekarang bisa dan berani komen. Saya mau ngambil perspektif Bapak kak Mega aja.

    Sama seperti Bapak kak Mega, saya juga orangnua susah untuk mengucapkan apa yang pengen disampaikan. Terutama menyangkut perasaan. Menyangkut orang terdekat macam Bapak dan Mama. Jadi bisa dibilang, hubungan saya dan Orang Tua itu cukup punya gap. Saya berusaha untuk tetap terbuka ke Mama biar sewaktu-waktu saya ngga canggung kalo ada masalah yang besar menimpa saya.

    Untuk urusan kesetiaan, saya salut dengan Bapak kak Mega. Mengingatkan saya dengan cerita pak Habibie. Saya ngga mau terlalu banyak bahas masalah personal kak Mega, saya pikir itu hal yang cuma kak Mega dan keluarga yang benar-benar mengerti.

    Sama seperti teman-teman yang lain, tulisan kak Mega memang keren. Sesuatu yang ditulis pake hati, pasti akan sampe juga ke hati

    BalasHapus
    Balasan
    1. wuah... pertama-tama terima kasih lho sampai baca tiga kali.... terima kasih sekali sudah meluangkan waktu buat membaca dan meresapi. Seneng banget kalau tulisan berguna atau at least berkesan ;)

      Yeesss, saya juga senang mendapatkan perspektif dari sisi Ayah saya menurut Rahul. Gimanapun cowok pasti punya perspektif lain yaaa, beda dengan pandangan saya yang memperhatikan sebagai perempuan (dan anaknya) ini. Hahaha, ngomen-ngomen juga nggak masalah kok, santuy aja 🤣

      seiring waktu, hal yang dulu dianggap menyakitkan jadi biasa saja, malah bisa dimengerti dari sisi yang lain karena usia dan pengalaman bertambah wkwkwk.

      tiap keluarga pasti punya hubungan spesial. nggak harus dengan cara umum yang diketahui orang banyak. mungkin rahul merasa "ada gap", tapi akan selalu ada ikatan spesial antara orangtua dan anak yang bentuknya spesial. Selama terus dipupuk, InsyaAllah akan selalu ada kedekatan 😀 karena katanya, blood is thicker than water kan yaa...

      Hapus
  10. Ayah sosok seorang yang sangat hebat dan takkan tergantikan, tetap selalu jaga keluarga tercinta. Salam kenal kak, ini komentar perdana saya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal dan terima kasih sudah mampir ya :D

      Saya beruntung punya Ayah yang baik dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Semoga kita semua selalu dijaga dalam kebaikan yaa...

      Hapus
  11. Hai, Mega. salam kenal yaa..

    Membaca tulisan ini membuatku terenyuh. jadi ingat sama orangtua yg seringkali menanyakan kapan aku akan pulang kampung.

    Ceritaku kayaknya hampir sama dengan kamu, aku ceritanya semua urusan sampe urusan pacaranpun sama ibuku. Sama abah, semuanya dirahasiakan, menghadap beliau pun harus berpakaian rapi dan bebicara sopan, sungguh takut sekali rasanya untuk sekadar ngobrol pun, apalgi membantah.

    Sekarng beliau sudah sepuh, tapi keras kepalanya masih. Dan aku bingung, karena tidak ada yang bisa megnendalikan keinginan abah kecuali abah sendiri. suka kaget kalau tiba2 pengen ke jakarta untuk menemui anaknya di sana, padahal jelas2 lagi sakit.

    Eh kok malah ikutan curhat

    Yang pasti memang ikatan anak ayah itu suka misteri, makanya sekarang aku meminta suamiku untuk lebih dekat dengan anaknya, biar nggak seperti hubungan orangtua jaman dulu.

    BalasHapus

Posting Komentar