Gentle Sunday

Saya Benci Lari, Jadi Saya Membeli Treadmill

Pasted image 20250308222105

Sebuah review setelah dua minggu rutin menggunakan treadmill, dan sebuah riwayat hidup pendek. Or other way around.

Di antara semua olahraga, saya paling nggak suka lari.

Sejak kecil, olahraga bukan bagian dari hidup saya. Orang tua mendidik saya untuk berprestasi secara akademik; dan buat mereka, olahraga bukanlah soal akademik. Saya tumbuh dengan anggapan bahwa olahraga hanya untuk anak-anak yang tidak pandai.

Di kelas olahraga, saya selalu terakhir. Terutama dalam lari—saya tahu tak akan menang, jadi tak pernah berusaha. Napas habis, kaki sakit, gatal, kesemutan, dan selalu tertinggal. Tak ada yang menyenangkan.

Saya hanya suka olahraga yang tidak kompetitif. Zumba, misalnya. Tidak ada skor, tidak ada siapa yang menang. Itu juga nggak bikin saya doyan olahraga rutin. Selama nggak gemuk, saya pikir nggak perlu olahraga. Sehari-hari saya jalan kaki jauh—bisa 10.000 langkah sehari—karena ke kantor menggunakan transportasi umum. Itu saja sudah cukup buat saya.

Setelah menikah, jalan kaki berkurang drastis: saya diantar-jemput, no more transportasi umum. Kontrakan jaraknya dekat ke kantor. Kalaupun tidak diantar, ada ojek online yang lebih cepat, nggak usah jalan lagi ke terminal angkot.

Karena saya (masih) nggak gemuk-gemuk amat, pun saya masih jauh lebih kecil dari suami (yang memang segede L300), saya masih merasa tidak ada masalah.

IMG_9855 Ini kebagusan. Aslinya suami saya kayak angka 1, saya kayak o kecil bantet

Efek COVID-19 buat Saya Adalah chronic pain…. dan Kegemukan

Saat COVID-19, berat badan saya bertambah tapi masih terkendali. Saya dan suami hobi jajan, dan godaan selalu ada. 🤣

Tak disangka, work from home berlangsung lebih dari setahun. Gaya hidup sedentary membuat berat badan melonjak, hingga saya kena HNP alias syaraf kejepit akibat kenaikan berat dan postur duduk yang buruk. Saya kira sakitnya sementara, ternyata persisten dan kambuhan—butuh sebulan untuk mereda tiap kali kambuh.

Olahraga pun terbatas. Selain jalan kaki dan berenang, saya tak bisa banyak bergerak. Tapi berenang sulit: perlu tempat, biaya, dan waktu. Saya coba jalan kaki di sekitar rumah, tapi kontur berbukit malah membuat cedera hingga tiga bulan. Kata dokter, saya butuh medan yang lebih datar—sayangnya, kompleks saya terkenal dengan tanjakan ekstrem.

Saya pikir saya sedang berproses menuju sehat. Ternyata saya malah muscle strain karena kondisi awal syaraf dan tulang saya yang nggak lagi normal.

Oh yaaa, giliran niat udah ada malah kena cedera.

At one point saya pasrah. Membiarkan berat badan bertambah terus, toh mau olahraga juga susah. I just want to eat what I want. Sampai suami mengingatkan, saya marah. Saat itu saya baru merasa ada yang salah. (hey, this paragraph rhymes).

Medical check up tahunan memukul saya kencang-kencang di kepala. Saya nggak bisa beralasan lagi. I should do something about it atau kesehatan saya akan lebih terancam dari ini. Saya beruntung jantung-paru-darah saya oke, tapi kalau dibiarkan, tahun depan belum tentu begini.

Masih banyak yang ingin saya lakukan dengan kondisi prima; sedangkan sekarang saya benci melihat saya di depan cermin. Merasa tidak punya kontrol atas diri sendiri, tidak bisa menjaga diri, dan sebagainya.

Saat saya utarakan ke suami, dia menyambut baik. “Kita beli treadmill aja,” katanya, “aku juga mau pakai, soalnya aku gak mau lari di luar atau gym dan ketemu orang.”

Beli treadmill! Wow, kepala saya langsung membayangkan Treadmill super besar di gym dengan berbagai fitur, pakaian fitness baru, dan ruangan yang mendadak jadi lantai parket dan cermin.

Tapi nggak, suami saya nggak beli treadmill besar kok. Thanks to virality of treadmill di tahun baru—maklum, new year new me cenah—di pasaran kini ada banyak pilihan treadmill dalam berbagai desain dan fitur.

Persiapan Menjelang Perang (Niat) Untuk Berlari

Dengan kondisi seperti ini, olahraga apa yang masih bisa saya lakukan tanpa risiko cedera?Pilihannya terbatas.

Jalan kaki di luar sudah terbukti sulit, renang merepotkan, dan gym bukan opsi menarik. Saya butuh solusi yang praktis dan bisa dilakukan di rumah… dan akhirnya, treadmill jadi jawabannya. Plus Abang yang ambil bagian menjadi penyumbang dana.

Beli treadmill nggak kepikiran di kepala saya sebelumnya. Kalau beli sendiri, kayaknya saya males banget jadiin itu prioritas. Karena itu, memiliki partner adalah hal utama yang bisa membantu.

Dengan adanya suami alias Abang, kami membangun rutinitas baru: berolahraga begitu pulang kantor. Karena ada orang lain yang menjalani hal yang sama, jadinya saya terpacu untuk rutin menjalaninya. Tentu saja, juga karena harga treadmill-nya tidak harus bayar penuh sendiri. Hihi.

Kami menjadwalkan tiga puluh menit begitu sampai rumah. Karena kalau istirahat dulu malah suka jadi males, biasanya kami rebutan begitu selesai sholat maghrib.

Selain memiliki partner supaya bisa saling mengingatkan, saya juga harus punya alat ukur. Seperti kata bacaan saya suatu hari:

Kalau tidak punya alat ukur, bagaimana caramu mencatat progres?

Waktu beli, kami dapat bonus timbangan digital yang bisa bekerja tanpa baterai. Good investment, karena bisa dihubungkan dengan aplikasi yang mencatat persentase lemak, otot, dan log progres berat badan.

Yang ketiga, tentu saja metode-nya sendiri—dalam hal ini, treadmill. Kami mencoba membuat aksesnya semudah mungkin: ditaruh di tengah rumah, stop kontak mudah dijangkau, lengkap dengan sepatunya. Pokoknya gimana caranya bisa dilakukan begitu bangun tidur atau ketika pulang kantor.

Saya masih skeptis pada diri sendiri. Di depan kantor saya ada gym dan saya nggak pernah ke sana: selalu ada alasan seperti lembur, buru-buru karena dijemput, atau ada hal lain yang lebih penting.

Treadmill yang ada di ruang utama jauh lebih mudah dijangkau daripada gym di depan kantor. Jadi keterlaluan kayaknya kalau gitu juga masih bikin saya mager.

Berat yang Saya Bawa Sesungguhnya adalah Beratnya Jadi Sempurna

Pertama kali menggunakan treadmill-nya, rasanya kaki saya berat sekali.

Sebenarnya lucu, karena ini tidak jauh berbeda dengan berjalan kaki. Saya juga tidak menggunakan kecepatan tinggi. Meskipun jarang berolahraga, saya masih bisa berjalan kaki, kok. Sesekali, saya berjalan di area kantor, dan biasanya bisa menempuh jarak sekitar 2 km.

Terus, kenapa? Saya juga nggak tahu. Lima belas menit di treadmill rasanya lebih berat daripada jalan kaki yang bisa sampai tiga puluh menit. Kayak ada bayangan di belakang saya, yang berbisik mengiyakan semua dugaan-dugaan saya soal lari, kayak gini:

"Nah, ini makanya aku nggak suka lari. Sakit."

"Nggak bakat lari memang, bentar aja udah gatel-gatel kakinya."

"Alah, gini aja berat, lutut udah ancur kali ya?"

Capek, kayak nggak selesai-selesai. Dari target tiga puluh menit, di hari pertama saya hanya berhasil di menit ke lima belas.

Nggak ada siapa-siapa di depan saya, tapi saya jadi teringat bahwa saya selalu berada di belakang kalau sedang berlari. Satu, dua, lima menit jadi terasa panjang—padahal video YouTube yang saya tonton bisa sampai dua puluh menit.

Nggak apa-apa, batin saya, sementara kaki saya masih berusaha mengejar langkah. Nggak ada siapa-siapa di depan saya. Nggak ada yang menilai waktu saya. Nggak ada teman-teman yang selalu meninggalkan saya jauh di belakang, karena lari saya terlalu lambat.

Nggak ada yang menyuruh saya untuk jadi nomor satu.

Teringat ini adalah treadmill dan bukan lapangan, saya mengambil ponsel dan menonton video sambil berlatih. It works fine. Di hari-hari berikutnya, deretan watch later yang saya punya jadi penolong. Dan sedikit-sedikit, kaki saya mulai beradaptasi.

Saat saya menulis ini, sudah lewat dua minggu sejak pembelian dan berusaha menggunakan setiap hari. Ada hari-hari yang bolong, dan bulan Ramadan membuat saya tidak berlatih sama sekali. Tapi pencapaian saya kemarin cukup bagus.

Tiga puluh menit bisa bertambah lima sampai sepuluh menit lagi. Kaki saya sudah nggak begitu berat rasanya, dan kecepatan standar saya sudah bertambah dua kali lipat. Tentu saja, pace saya belum di bawah sepuluh. Jangan bayangkan saya sudah jadi pelari betulan, karena untuk jogging pun, saya masih perlu waktu.

Pasted image 20250308224125

Saat Ini, Saya Hanya Berkompetisi dengan Diri Sendiri

Kayaknya ini nggak cuma tentang belajar berlari, tapi tentang menghadapi ketakutan diri dan sebuah prejudice yang dibangun bertahun-tahun lamanya. Yup, prejudice yang dibuat sama diri sendiri, tentu saja.

Well, saya masih gemuk. Jadi tulisan ini bukanlah tentang “berkat Treadmill, saya turun sepuluh kilo!”. Karena saya juga masih berjuang dalam kompetisi.

Namun kini saya nggak lagi berkompetisi dengan teman sekelas atau dengan orang lain di strava. Saya masih berjuang mengalahkan diri saya sendiri. Diri saya yang kemarin.

Saya juga masih bergelut dengan pembiasaan; bagaimana kalau pulang dengan kecapekan, bagaimana ketika pekerjaan mulai menumpuk dan jadi beban pikiran, dan yang paling menjadi halangan adalah ketika chronic pain datang lagi menyerang.

Saat ini, saya lagi menurunkan intensitas lari dan jalan karena otot mulai terasa sakit, dan bulan Ramadan membuat waktu terasa lebih pendek dari biasa. Malah sekarang harus berhenti lagi, karena flow kerja dan kegiatan Ramadan benar-benar berbeda.

Awalnya sebal karena streak olahraga saya terganggu, tapi saya mengingatkan diri bahwa saya hanya bersaing dengan diri sendiri, bukan orang lain.

Lari masih bukan olahraga favorit saya. Namun setidaknya saya bisa menemukan apa yang menyenangkan darinya. Saya bisa olahraga di rumah sambil nonton, saya nggak harus lari cepat melesat, dan saya bisa istirahat kalau memang nggak kuat.

Dan yang paling penting, saya nggak harus juara satu untuk mendapatkan kemenangan yang saya mau, yaitu jadi sehat.

Mari kita lihat keberjalanannya tiga bulan lagi, 

Mega


thanks for reading!

kirim komentar lewat email atau mention saya di threads.

Suka baca tulisan saya? langganan atau dukung saya lewat nihbuatjajan.

#2025 #Life Essay #Wellbeing #Workout #blog #fav