pasar seni 2025 edisi kacamata nostalgia

Pasar Seni ada lagi. Sebelas tahun sejak pasar seni terakhir. Saya datang (lagi), kali ini bareng suami. Sepertinya saya salah jam datang karena kesiangan, tapi mungkin juga saya sudah menghadapi suasananya dengan perspektif berbeda. I am now in my 30s, afterall.
It's always crowded, Pasar Seni. Semua orang bersinggungan dan berbondong-bondong melintas, bikin saya bingung mau ngapain. Suami saya yang memang ekstra introvert itu bete sepanjang jalan. Saya paham sih, soalnya saya kan jalan kaki sambil pasang kacamata warna mawar. (Rose-colored glasses... If you know what I mean.)
Hal yang unik dari Pasar Seni kali ini, selain karena sudah sepuluh tahun sejak momen terakhirnya, adalah karena situasi sudah jauh berbeda. Ketika saya jadi panitia, media sosial yang masif hanyalah Facebook. Twitter belum bisa upload foto langsung, pengguna Path dan Instagram hanyalah pengguna Iphone yang waktu itu hanya segelintir.
Saat saya jadi pengunjung di tahun 2014, media sosial baru mulai digencarkan menjadi alat marketing. Rasanya masih sama, dan karena waktu itu saya baru lulus, kondisi saya tidak terlalu jauh dibandingkan saat kuliah dulu. Masih sendiri alias belum menikah, masih banyak teman-teman yang bisa datang karena belum banyak tanggung jawab tambahan.
Kami sengaja datang menggunakan kereta komuter lokal Bandung. Begitu keluar stasiun, kami kesulitan mendapatkan ojek online. Setelah nego dengan ojek online secara offline (haha), saya dan Abang berpisah menggunakan ojek sendiri-sendiri. Pilihan yang tepat karena macet sampai Tamansari bawah, sehingga saya dan suami jalan kaki dari depan Balubur Town Square (Baltos) bersama pengunjung yang lain.
Berjalan kaki lebih banyak kagoknya karena berduyun-duyun dengan manusia. Setelah memasuki gate dengan susah payah, akhirnya kami masuk ke area. Karena banyak orang, jadinya tidak bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada. Kalau dulu, kami disambut dengan instalasi-instalasi besar yang juga jadi penanda area. Sekarang, instalasi dan wayfinding yang ada rasanya terlalu kecil, dan kegiatan dibagi-bagi di berbagai wahana. Panggung yang dulu hanya satu, sekarang jadi tiga.
Baiknya memang datang sebelum siang, pikir saya, karena sekarang selain harus berlomba dengan manusia, kami juga berlomba dengan hujan. Ada beberapa stand yang membuat saya jadi nostalgia, karena ada juga di pasar seni yang lalu. But I can't help feeling a bit disoriented dan sulit menikmati.
Setelah banyak jalan kaki yang tidak membuahkan apa-apa selain pegal dan ketemu beberapa teman, kami pun melipir mencari ojek online untuk pulang. Satu hal positif dari Pasar Seni kali ini: banyak ojek online sehingga bisa menembus kemacetan lebih baik. Kereta api lokal sudah bisa diandalkan sehingga kami bisa pulang dengan nyaman. Dulu, ada cerita orang baru bisa dapat angkot larut malam, padahal Pasar Seni sudah selesai pukul lima sore.
Mahasiswa yang mengerjakan Pasar Seni sekarang tidak pernah mengalami Pasar Seni. Sepuluh tahun cukup untuk membuat warisan itu terputus, ditambah pandemi yang membuat mereka tidak familier dengan event semacam ini.
Sekarang, mahasiswa tahun pertama tidak lagi kuliah di kampus Ganesha; melainkan ITB Kampus Jatinangor yang hampir empat puluh kilometer jauhnya. Kenangan saya sebagai mahasiswa baru yang sering "disatroni" kakak tingkatnya tidak mereka alami lagi. Begitu pula dengan kegiatan kepanitiaan besar; sudah pasti butuh waktu ekstra kalau mau bekerja bersama dengan seluruh angkatan.
Seiring berjalannya waktu, saya pikir, Pasar Seni tidak bisa lagi membawa semangat masa lalu dengan format yang sama. Dunia berubah, media sosial juga semakin tajam dan kejam. Ekspektasi masyarakat jadi tinggi. Pasar Seni tidak lagi menjadi sekadar acara mahasiswa. Ia jadi bagian dari branding ITB, bahkan ikon kota Bandung. Hal yang sebenarnya belum tentu diinginkan oleh "pekerja" Pasar Seni-nya sendiri. (Ha ha ha)
Still, di tengah keramaian, menyusuri kampus yang juga kini jadi kantor saya, I tried to find something whimsy, nostalgic; a youthful spirit that I was once were. Joget dangdut pakai kemeja putih di tengah Boulevard dengan teman-teman angkatan, tidak tidur dan bekerja di kampus satu hari sebelum acara.
Sampai saat ini, momen melihat persiapan Pasar Seni pukul dua pagi masih jadi momen magis yang menakjubkan. Bahkan meskipun waktu itu saya nggak bisa jadi panitia utama karena keterbatasan dan larangan orangtua hehehe.
(Sadly, foto-foto masa itu terhapus di harddisk yang rusak dan facebook yang dideaktivasi.)
Untuk saya yang waktu itu masih remaja, terlibat di dalamnya adalah hal yang luar biasa. Saya nggak mikir, mungkin orang lain yang datang merasakan hal yang sama seperti saya sekarang: bingung, pusing kebanyakan orang. Sekali pun waktu itu saya hampir pingsan karena nggak tidur semalaman dan asam lambung, rasanya bahagia.
Semoga, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, adik-adik panitia Pasar Seni yang sekarang juga merasakannya. Semoga Pasar Seni berikutnya ada lagi dan lebih menyenangkan 🙂