Gentle Sunday

Konseling dengan psikolog untuk pertama kalinya

Minggu kemarin, saya menjalani sesi konseling dengan psikolog. Ini adalah pertama kalinya saya melakukan konseling secara tatap muka. Sebelumnya, saya hanya pernah bertemu psikolog saat menjalani psikotes dan lewat chat consultation platform.

Sebenarnya, ini sudah cukup lama tertunda. Selama ini, saya justru sering menjadi orang yang mendorong teman-teman untuk pergi ke psikolog bila diperlukan. Saya juga selalu ikut senang untuk teman yang lancar dengan sesi konseling atau terapi mereka masing-masing.

Namun, tentu saja, hal ini tidak berlaku untuk kita sendiri, hahaha.

"Ah, saya bisa kok menangani ini semua sendiri." Selalu itu mantera yang saya ulang. Berusaha membereskan sendiri, lalu gagal lagi, saya stres, mencoba lagi, lalu gagal lagi, dan hal tersebut pun berulang lagi.

Saya nggak akan beberkan detailnya karena menyangkut privasi, tapi pastinya ini tentang kesulitan saya dalam mengelola hidup yang berpengaruh pada pikiran.

Seperti yang sudah diduga, hal-hal yang dibiarkan terlalu lama akhirnya menjadi bom waktu dan meledak. Dampaknya jelas: mengganggu kehidupan keseharian, juga mengganggu hubungan saya dengan orang-orang terpenting saya.

Ya, kemarin mungkin merupakan mental breakdown terbesar yang saya alami dalam dua tahun terakhir.

Kapan Harus ke Psikolog?

Ada banyak halangan yang membuat saya menunda ke psikolog. Nggak ada waktu atau nggak ada biaya adalah alasan yang saya lontarkan. Saya juga berpikir curhat ke teman juga sudah cukup, yang penting emosi dan pikiran saya kembali tenang.

Namun itu semua sebenarnya adalah mental block. Rasa takut yang tipis dan tidak terlihat menghalangi saya untuk mengambil langkah. Memprioritaskannya di halaman paling belakang. Kalau sudah tenang, saya merasa tidak butuh lagi. Saat masalah terjadi lagi, baru berpikir lagi, tapi belum tentu juga dilakukan.

Saya akhirnya memutuskan pergi ke psikolog karena:

Apa aku harus ke psikolog, ya?

Kata teman saya, pikiran itu saja sebenarnya sudah cukup. Tapi nggak cukup untuk membuat saya bergerak, tapi cukup untuk menjadi validasi, bahwa ya, saya memang perlu konseling.

Merasa stuck dan bingung

Momen terakhir membuat saya merasa buntu, nggak tahu harus ngapain. Saya bukan tipe orang yang memendam segala hal, jadi saya lari ke teman dan bercerita supaya lebih lega. Hal itu cukup membantu, tapi nggak menyelesaikan.

It feels like a stucked loop. Kalau saya nggak berbuat sesuatu, nggak akan ada yang berubah dan saya sendiri juga nggak tahu harus mulai dari mana. Jadi saya putuskan untuk bertanya pada profesional.

Kegiatan sehari-hari terganggu

Susah fokus sudah pasti. Kerjaan jadi terasa lebih sulit daripada biasanya. Ada waktu kosong, tapi saya bingung harus mengerjakan apa.

Di momen-momen tertentu, kepala saya terasa sakit dan dada saya terasa tertekan. Asam lambung naik. Sebuah trigger bisa membuat saya gemetaran sampai belasan menit. Ketika sudah terasa respons fisik, di situlah saya tahu: Saya benar-benar harus membuat janji konsultasi.

Persiapan Sebelum Menentukan Psikolog

Berhubung kepala saya waktu memutuskan juga mumet binti bingung, atas saran teman, saya memutuskan untuk melakukan journaling. Selama tiga-empat hari, saya mencatat kondisi saya pada hari tersebut, dengan format sederhana:

Saya memilih menggunakan aplikasi digital. Dalam sebuah file markdown, saya mencatat situasi saya dalam beberapa hari untuk dokumentasi. Setelah itu saya cheating sedikit menggunakan AI untuk brainstorming.

Kenapa? Karena saya sedang tidak berfungsi maksimal hahaha. Dengan memberikan data jurnal, saya bertanya apa yang kira-kira bisa saya jelaskan ke psikolog sebagai pesan pembuka. Lalu saya hapus yang nggak sesuai dan edit supaya lebih cocok dengan saya.

Melakukan Booking dan Mengisi Formulir Pendaftaran

Screenshot 2025-06-07 at 20

Saya memilih Klinik PIP Unpad, dengan pertimbangan kantornya dekat dengan kantor saya. Booking-nya pun cukup mudah, bisa lewat formulir online.

Sebelum mengisi, saya mengecek dulu daftar psikolog yang ada di instagram Klinik. Di sana dicantumkan psikolog yang tersedia untuk konsultasi dan bidang keahlian mereka. Karena psikolog cocok-cocokan, jadi saya mencoba menyeleksi dulu walaupun info yang diberikan tidak terlalu banyak. Setelah ada nama acuan, saya lanjut mengisi formulir.

Formulir isian cukup banyak, tapi mudah dan nyaman. Di bagian akhir formulir kita akan diminta merinci masalah yang hendak dikonsultasikan dan tujuan konsultasi. Di sini ringkasan yang saya buat di atas tadi jadi berguna. Jadi saya nggak usah mikir-mikir lagi dan langsung isi saja.

Ternyata, tidak semua psikolog bisa ditemui secara luring (offline). Pilihan lainnya adalah konsultasi online menggunakan platform online meeting. Kebetulan psikolog yang saya pilih hanya menyediakan konsultasi daring (online). Untungnya sistemnya praktis dan langsung memperlihatkan jam psikolog yang tersedia.

Biaya konsultasi dibayarkan di muka sebesar dua ratus ribu rupiah. Karena saya pertama kali mendaftar menjadi klien, maka saya juga harus membayar biaya admin sebesar tiga puluh lima ribu rupiah. Setelah pembayaran, saya akan menerima tanda bukti bayar.

Pengingat serta link pertemuan dikirimkan lewat email serta WhatsApp sehari sebelumnya. Neat! Jadwal konseling saya adalah pukul 18.30, jadi saya tinggal menunggu esok hari.

Pengalaman Konseling

Satu sesi berdurasi enam puluh menit dan bila berlebih akan dilanjutkan ke sesi kedua. Pikiran saya masih kalut, tapi juga deg-degan, karena kepala saya sibuk berasumsi. Untungnya, saat layar terbuka dan memperlihatkan konselor saya sore itu, rasanya lebih tenang.

Kami berkenalan dan mengobrol singkat dulu, lalu berlanjut dengan menjawab beberapa pertanyaan. Menurut saya yang penting di sini adalah kejujuran dan keterbukaan, sehingga psikolog bisa menganalisis kondisi kita.

Mengisi formulir dengan detail terbukti sangat bermanfaat. Bertatapan dengan psikolog saya di layar zoom, saya membuka jendela berisi catatan review saya dan jurnal, jadi saya nggak lupa apa yang harus disampaikan.

Saat memulai konseling, saya diminta memberitahu apa harapan saya setelah menjalani konseling ini. Target saya kemarin adalah lebih tenang dan bisa kembali beraktivitas dan berkomunikasi untuk penyelesaian problem dengan baik.

Psikolog saya memberikan saya beberapa pengingat dan mengidentifikasi masalah-masalah saya. Ketika dalam kondisi baik, saya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Namun saat kondisi sedang kalut dan panik, saya nggak bisa berpikir.

Awalnya saya mengira masalah saya adalah A. Tetapi setelah mengobrol dengan psikolog, ternyata poin masalahnya adalah di B. Saya terlalu berkutat dengan masalah A sehingga merasa masalahnya tidak selesai-selesai; setelah melihat masalah B, saya mengubah perspektif saya, dan jadi sedikit lebih paham dengan apa yang terjadi.

Psikolog saya juga berkata bahwa proses sejatinya tidak akan berbentuk garis lurus ke atas. Ketika terjadi kemunduran, berhenti sejenak, selama kita terus berusaha, maka itu akan tetap jadi bagian dari proses.

Hehehe, lumayan jadi pengingat untuk saya yang super perfeksionis dan ingin semua dalam kondisi ideal 🥲

Konsultasi berlangsung lancar dan bahkan berlebih sedikit (lima menit untuk penjelasan penutup). We bid our goodbyes, dan sesuai harapan saya di awal, selesai konseling saya merasa jauh lebih tenang.

A good first-time experience

Kriteria psikolog yang cocok tentu berbeda untuk setiap orang. Saya memilih psikolog yang kelihatannya tidak terlalu beda jauh umurnya dengan saya. Soalnya saya takut dimarahin kalau milih yang lebih tua. 🤣 Yah bisa aja itu perasaan saya doang, tapi nggak apa-apa kan yaaa hahaha.

Peran psikolog bukan penyembuh, tapi pendamping. Yang "menyembuhkan" pikiran dan hati kita adalah diri kita sendiri. Hal inilah yang perlu ditekankan saat memutuskan untuk menemui psikolog, sehingga kita tidak menggantungkan kondisi pikiran pada psikolog.

Menurut psikolog yang saya temui, target seorang psikolog adalah kemandirian. Apabila kliennya harus menemui dia berkali-kali, itu berarti ada yang harus dibetulkan: baik dari terapi yang diberikan atau mungkin harus direkomendasikan menemui orang lain.

All in all, saya bersyukur memutuskan untuk menemui psikolog. Setelah mendapatkan perspektif baru dan mengatur ulang pola pikir (ditambah saran-saran untuk berlatih), fokus saya kini sudah jauh lebih baik. Sudah beberapa hari berlalu dan saya merasa kondisi mental saya lebih prima 😙

Tentu saja, tidak ada perubahan yang instan, seperti kata psikolog saya. But I'm hopeful, dan dengan pengalaman yang menyenangkan ini, saya nggak kapok untuk datang lagi bila sewaktu-waktu membutuhkan bantuan.

Terima kasih banyak untuk psikolog di Klinik PIP Unpad yang sangat membantu, terima kasih untuk teman dan keluarga yang memberikan keberanian, dan pastinya, terima kasih untuk saya sendiri yang telah berani mengambil langkah 🩷

Sampai ketemu di cerita selanjutnya,

Mega


thanks for reading!

kirim komentar lewat email atau mention saya di threads.

Suka baca tulisan saya? langganan atau dukung saya lewat nihbuatjajan.

#2025 #Wellbeing #blog