Hal-Hal Inilah yang Jadi Pertimbangan Saya Sebelum Memutuskan Menikah

foto oleh Nina Hill via Unsplash
Disclaimer: Pendapat didasarkan pada pernikahan yang baru seumur jagung. Pandangan saya ke depan bisa jadi terkoreksi atau bertambah. Saat itu terjadi, tentu saja akan saya update.

Beberapa kali, ketika sedang waktunya istirahat kantor atau sedang ada di waktu luang, ada yang bertanya pada saya. Yang bertanya ini rekan dan kolega yang memang belum menikah.

Maka, jadilah judul ini. Judul yang sungguh perhitungan ya? Tapi berhitung itu kan memang perlu, bok! Soalnya ini mengenai menikah. Yang mana adalah komitmen seumur hidup.


Mungkin pertanyaan itu juga muncul karena saya dan suami cuma melewatkan proses “perkenalan” yang sebentar (setahun saja). 

Kali aja nanti nanya lagi kan, jadi udah siap artikel. Pede aja dulu.


Gimana enggak, tahun sebelumnya masih ngomong entah nikah sama siapa, mo nikah kapan-kapan aja, trus tahu-tahu ngasih undangan.


Temen-temen juga nggak tahu saya deket sama siapa, pacaran sama siapa. Soalnya saya tiap ditanya kapan ada jodoh malah minta dicariin soalnya nggak tahu. Percayalah itu sama sekali nggak bohong.

Jadilah muncul pertanyaan berikut:



“Kok bisa sih mutusin untuk nikah?”




“Kok yakin sih? Kok nggak takut sih?”



Dan kok, kok, kok, kok yang lainnya. Apalagi saya pernah bilang beberapa tahun sebelumnya, nggak menikah pun nggak apa-apa, karena saya takut!


Itu juga beneran. Saya pernah takut banget nikah sehingga cenderung menghindar dari yang "begitu-begitu". Daripada pacaran saya lebih suka temen jalan. Bebas jalan sama siapa aja, nggak terikat ke satu orang.


Lalu, apakah saya menikah begitu saja? Tentu tidak, Ferguso.


Saat hendak menikah, tentu saja saya sempat mengalami galau paripurna tentang keputusan yang saya ambil. Ditambah karena nggak ada Ibu, jadi saya memutuskan untuk curhat ke… banyak figur perempuan dewasa yang saya tahu. Ha ha ha.


Mulai dari senior di kantor; atasan yang saya hormati; kakak sepupu, sampai figur abang-abangan di kantor.


Hasil curhat tersebut, ditambah pemikiran dan pertimbangan pribadi, akhirnya membawa ke situasi saya sekarang.



Jangan Terburu-buru


Saya menikah di usia 28 tahun. Usia mepet-mepet, waktunya panik, kalau kata orang kantor saya yang cenderung konservatif. Sementara, waktu itu, saya justru sedang berada di state nyaman dengan diri sendiri.


Masa-masa panik saya bertanya mengapa saya belum menikah adalah dua tahun sebelumnya, di usia 25-26. Saat ketemu Abang saya justru sedang dalam masa berpikir “nikahnya umur 30 aja deh… itu kalau ada jodohnya.”


Mungkin ini yang dimaksudkan orang-orang tua dengan: “jangan dicari, jodoh nanti datang sendiri”. Ketika saya ngoyo pengen menikah dengan si Fulan, yang ada malah patah hati. Ketika bertanya-tanya kapan dilamar si Amin, yang ada si Amin malah mundur.


(Cie.... siapa tuh)


Ketika saya memberi banyak ruang untuk diri saya sendiri--fokus pada pengembangan diri dan menyenangkan diri--eh, muncullah suami saya dari langit.


Atau dari parkiran, mengingat saya pertama kali ketemu dia di parkiran.


Jangan menikah karena berpikir “sudah waktunya, jadi harus”, atau “pokoknya nikah”, karena itu akan mengaburkan batasan dan pertimbangan yang diperlukan oleh kita. Ini kan menikah lho ya, bukan beli motor.


Beli motor masih bisa dijual lagi kalau nggak puas. Kalau menikah? Yaaa tentu saja kita bisa cerai, namun tentu bukan itu tujuan kita menikah, kan?


So I tried to pay attention to yourself. My own needs, my own purpose.


Jodoh nanti ngikut, kalau kata orangtua mah.


Lha iya sih. Ketika lagi mikir gitu, mendadak datang orangnya. Ajaib bener rencana Tuhan.

Memang, saya menikah dengan proses pengenalan yang cepat, namun ketika itu, saya tidak sedang dalam keadaan terburu-buru; sedang tidak merasa dikejar oleh "keharusan", sedang merasa sangat tenang dan yakin dengan keadaan diri sendiri.


Ketahui Motivasi Masing-Masing Untuk Menikah


Pertanyaan saya sederhana saja waktu itu: Kenapa mau menikah? (Dengan saya).


Disampaikannya pakai drama-drama dan nangis sih soalnya kaget kok dilamar HAHAHAHA….


Meskipun udah ada feeling, tetep nangis. Ini kalau diceritain nyebelin banget jadi mari kita skip. Tapi masih sering dibahas saya dan suami kalo lagi pengen gemez gemez.


Jawaban suami (waktu itu calon) sederhana sekali: Karena mau ada teman.


Teman jalan. Teman berantem. Teman menghadapi kehidupan. He got me di teman berantem. Karena teman hidup kan memang bukan untuk yang baik-baik saja, namun juga hal yang ribet-ribet. Motivasi saya sejenis: Partner untuk hidup.


Zidan siap? Siap. Yuk, Pak Haji.



“Lho, bukannya kalau sudah pacaran berarti sudah paham motivasi masing-masing untuk menikah?”



Belum tentu. Tujuan pacaran kan beda dengan tujuan menikah; dan pikiran kita bisa jadi berbeda ketika pacaran dengan ketika mempertimbangkan untuk menikah.


Ini saya rasakan ketika “pacaran” dengan si Fulan dan si Amin. Sama-sama suka belum tentu punya tujuan yang sama dan searah.


Mungkin proses saya dan Abang yang cukup “singkat”, membuat saya lebih mudah mencari tahu hal ini. Lebih objektif istilahnya, nggak pakai mutar-mutar dulu. Capek ah digantungin orang. (lha kok curhat).


Motivasi sekadar “karena pacarannya sudah lama”, “karena sudah cukup usianya”, “karena kapan lagi”, nggak cukup untuk saya. Perlu kesadaran kuat dalam diri bahwa keputusan menikah tersebut adalah memang karena sudah siap--unsur intrinsik yang datangnya dari dalam diri.


Kalau tujuannya menikah adalah untuk punya anak, misalnya: Bagaimana kalau ternyata kalian tidak dikaruniai anak--apakah akan selesai?


Menikah karena ingin jadi kaya raya, misalnya. Kalau ternyata ketiban bangkrut, apakah akan selesai juga?


Tentu saja saya tidak menafikan bahwa memiliki anak dan meningkatkan kesejahteraan hidup adalah tujuan menikah. Itu wajar dan umum. Saya juga begitu. Namun ada hal yang melebihi itu semua.


Sebelumnya saya cenderung mikir bahwa poin “menikah karena ibadah, menikah untuk menyempurnakan agama” itu klise. Semakin saya menyiapkan pernikahan, pada akhirnya saya semakin dibawa ke esensi paling utama dari tujuan menikah: ibadah.


Untuk orang lain, mungkin akan berbeda. Namun ketika saya bertemu Abang, saya baru berpikir seperti itu: tujuan utama menikah saya adalah untuk ibadah, tujuan selain itu adalah pendukung.


"Tetep aja kamu nikah sama aku karena kamu matre," kata Abang kalau baca paragraf ini.


Alhamdulillah, tentu saja itu juga benar (mengamini).



Lihat Interaksi (Antar) Keluarga


Menikah artinya menikah dengan keluarga juga. Hal ini juga baru saya pahami setelah proses menuju pernikahan, hahahaha. Untuk itu, nggak cuma pasangan yang perlu dipertimbangkan bibit-bebet-bobotnya, keluarganya juga.


Bagaimana cara pasangan bersikap dengan keluarganya bisa jadi penanda. Begitu juga bagaimana keluarga kita berhadapan dengan pasangan.


Suami saya anak rantau, jadi pertemuan pertama saya dengan keluarganya adalah lewat telepon. Itu saya was-was sekali.


Saya punya faktor insecure besar mengenai keluarga. Ibu saya meninggal waktu saya masih remaja, jadi praktis saya tidak punya mother figure yang dapat “memandu” saya di saat-saat seperti ini.


Selain itu, Ayah saya sudah menikah lagi, tapi juga sudah bercerai lagi. Gimana tidak insecure tuh. Berbagai kekhawatiran muncul di pikiran.


Tapi keluarga Abang benar-benar tidak neko-neko. Meskipun lewat telepon, saya merasa diterima sekali. Pun ketika saya bertemu dengan adiknya (yang juga berada di Bandung untuk studi), sangat mudah untuk berinteraksi.


Pikiran insecure yang ada di kepala saya sebelumnya sirna.


Ada hal lucu juga ketika melihat Abang berinteraksi dengan keluarga saya. Adik-adik saya selalu punya aura permusuhan hebat ketika berurusan dengan si Fulan dan si Amin di masa lalu. Tapi Abang justru malah mudah sekali masuk ke keluarga saya.


Saat kedua keluarga bertemu, ternyata Ayah saya dan (waktu itu calon) mertua punya sudut pandang yang sama mengenai jodoh anak-anaknya: “Jangan ribet-ribet. Selama kalian sama-sama niat ya nggak masalah”.


Semua diserahkan pada kami. Nggak ada persyaratan ini-itu bagaikan telenovela yang mengharuskan orangnya membangun candi dulu. (Lho, itu sih Roro Jonggrang ya)


Di situlah saya merasa jalan terbuka dan berpikir, mungkin memang yang ini jodoh saya. Ha ha ha…


Kalau orangnya memang baikkk banget, dan merasa sudah jodoh, tapi keluarganya “kurang sreg”--namun kita juga sudah siap menguatkan diri, bagaimana?


Ya, silakan. Kan memang tidak ada keluarga yang sempurna, manusia yang sempurna. Keputusan tetap di tangan masing-masing. Risiko juga ditanggung masing-masing.


Ini agak tricky. Dan pasti akan penuh preferensi pribadi, jadi saya nggak akan ngomong-ngomong banyak soal ini. Belum banyak ilmu juga soalnya. :D



Kenali Karakter Baik-Baik


Nggak, nggak. Bukan berarti ngetes dia dengan bikin dia marah setiap hari. (Meskipun kayaknya perempuan emang punya tendensi ini, ya nggak sih? Wk wk wk.)


Secara alamiah saja--lihat kapan kalian berbeda pendapat. Soal apa, dan bagaimana kalau ada kesalahpahaman satu sama lain.


Begitu juga dengan kehidupan sehari-harinya: Bagaimana cara bersikap, mengobrol, berinteraksi dengan teman dan keluarga.


Pacaran lama belum tentu bisa membuat kita mengenal karakternya. Begitu juga kalau pacaran sebentar atau dijodohkan. Namun tetap perhatikan baik-baik. Nggak ada salahnya kan memperhatikan, he he.


Faktor kemandirian juga penting. Namanya menikah kan berdua. Masa iya menghadapi persoalan sehari-hari saja banyak yang “numpangin” perspektifnya seperti orangtua, saudara, dan lain-lain. Pastikan kematangan diri dan kematangan pasangan.


Kalau ada perasaan “aneh”, tidak sreg, ya silakan dipikir ulang. Apakah sudah siap kalau harus menghadapi karakter seperti itu seumur hidup?


Maka dari itu, point ini sangat subjektif.


Dua hal klasik yang sering disebutkan sebagai "pemutus" hubungan adalah KDRT dan perselingkuhan. Saya juga termasuk ke aliran ini. Baik saya maupun suami, pokoknya kalau ini terjadi sudah red light lha ya.


Alhamdulillah selama perkenalan nggak ada kasus atau tendensi seperti ini. Toh tanpa bawaan itu pun, saat menikah akan selalu ada ujiannya bagi kita dan pasangan. Termasuk ujian dari pihak ketiga, keempat dan kelima. Jadi sebisa mungkin diminimalisir aja deh kemungkinannya... 😅


Pun, karakter bisa berubah seiring pernikahan. Saya yang sekarang belum tentu sama dengan saya sepuluh tahun lagi. Begitu juga dengan suami. Kami akan saling mempengaruhi, dan itu bergantung dari pilihan-pilihan hidup yang kami pilih nantinya.


Saya nggak tahu ujian apa yang akan diberikan Allah di depan, tapi semoga saja bisa melewati itu dengan baik apa pun bentuknya.


Tentu saja seiring waktu saya selalu menemukan sesuatu yang baru baik dari dalam diri maupun diri pasangan. Life is never flat kalau kata makanan ringan.

Micheile via Unsplash


Bicaralah Soal Uang


Saat pacaran tentu kita nggak akan bicara soal ini. Mengingat uang dan perasaan adalah pantangan untuk digabungkan, hahaha. Waktu pacaran, rasanya ya uang ada saja, karena kami hanya sekadar pacaran tanpa harus menghadapi keuangan rumah tangga yang sebenarnya.


Namun keuangan rumah tangga ‘kan tidak hanya terdiri dari makan dan jajan saja. Ada puluhan mata anggaran yang akan berulang, kewajiban keuangan baru yang bertambah, serta rencana untuk ke depan.


Tidak bisa sekadar “yang penting uangnya nggak kurang”.


Ada ungkapan menarik dari salah satu blogger favorit saya, Mbak Rinda. “Saya nggak akan mudah membicarakan uang kalau pernikahan saya tidak solid.” Mungkin berbeda-beda bagi setiap orang. Tapi statement itu saya amini.


Semakin solid suatu hubungan, akan semakin nyaman juga berbicara soal uang.


Di departemen yang ini, saya memang punya perspektif berseberangan dengan Abang. Saya cenderung frank dan sangat perhitungan, sedangkan Abang lebih abstrak dan kadang tidak nyaman kalau harus bicara frontal tentang uang. Kami punya tujuan yang sama, namun berbeda dalam hal penyampaiannya.


Namun hal ini tetap harus dibahas sebelum pernikahan. Begitu juga hal-hal yang berhubungan dengan itu: siapa yang bekerja, apakah boleh terus bekerja/berhenti, bagaimana kewajiban keuangan yang berhubungan dengan keluarga besar, dan lain-lain.


Ini adalah salah satu hal yang masih saya pelajari “seni”nya. Ada kebaikan dan kekurangan dari perspektif kami masing-masing tentang uang.


Saya belajar bahwa tidak selamanya perhitungan/terlalu objektif itu baik, dan ada batasan yang harus dijaga. Dia juga belajar… menabung. He he he…


Satu hal yang sama dari kami: Kami anti hutang dan menghutangkan terutama pada teman dan keluarga. Sudah paham lha ya dengan repotnya berhutang/menghutangkan ke orang.



Percaya dengan Insting dan Berdoa


Ini lebih ke soal indera keenam. Dan ketujuh. Tergantung kepercayaan masing-masing; namun saya percaya, agama apa pun yang kita anut, kita dikaruniai intuisi untuk memilih. Alam bawah sadar memberi tanda siapa/apa yang tepat untuk kita.


Ini benar-benar nggak bisa saya jelaskan pakai deskripsi. Karena perasaan saya cuma bilang, “ayo jalan”, begitu saja. Nggak ada ragu seperti yang sudah-sudah.


(Menatap pada si Fulan dan si Amin)


Semua mengalir dengan nyaman. Ada yang nyangkut selama proses, tapi ya standar.


Kalau misalnya meragukan insting yang dimiliki, selalu ada jalan: berdoalah minta diberi petunjuk sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Diskusi dengan figur mentor yang kira-kira bisa objektif.


Dan kembali lagi: trust your gut.


Nggak ada yang bisa menjamin apakah pernikahan akan mulus kalau hanya bermodal insting, tentu saja. Amini insting ini setelah mempertimbangkan hal-hal yang lain juga.



Setelah yakin? Jangan dulu bahas resepsi, tapi…


Jadi gimana? Sudah oke? Sudah yakin? Mantap. Sudah waktunya memikirkan mau garden party di mana, band pengisinya siapa? Eittts nanti dulu. Yang itu gampang.


Waktunya berdiskusi lebih lanjut tentang kehidupan setelah menikah. Mau tinggal di mana? Bagaimana pengelolaan keuangannya (lanjutan)? Siapa yang akan bertanggung jawab atas ini dan itu? Kapan akan memberitahu keluarga?


Dan diskusi lanjutan ini bisa lama. Tapi bisa bersamaan dengan berdiskusi soal resepsi, kok. Sambil jalan saja, ‘kan menikahnya nggak lusa juga. (Kecuali kalau memang jaraknya sedekat itu, silakan diskusi kebut semalam).


Satu yang pasti adalah:



No turning back.


Karena pada akhirnya, menikah tidak harus jadi pilihan setiap orang.


Saya yakin jalan mendapatkan pahala (kalau dalam agama Islam), atau mendapatkan "kelengkapan dan pemenuhan diri" tidak harus lewat menikah. Setiap manusia punya jalan dan tujuan masing-masing dalam hidupnya. Menikah hanyalah salah satu jalur.


Pun, ketika sudah memutuskan menikah, hal-hal di atas tidak akan serta-merta membuat pernikahan bebas masalah, bok. Pernikahan ‘kan adalah kata lain dari ujian hidup berbentuk lain, ya. Setelah kesenangan sekilas dari resepsi, tibalah ujian hidup yang seru. Menikah adalah sesi naik kelas.


Saya nggak boleh menyesal. Menyesal tidak akan membawa kita melangkah ke jenjang kehidupan berikutnya. Apa pun hasil dari pernikahan itu.


Ayah saya bercerai saat pernikahan keduanya. Mantan istrinya juga sudah menikah lagi. Tapi, hubungan dengan mantan istrinya tetap baik.


Dari situlah saya melihat bahwa perceraian tidak mesti ada karena pasangan sudah bermusuhan. Ada hal-hal yang memang tidak bisa dijelaskan menggunakan pemahaman “cinta saja sudah cukup”.


Still, “tetap bersama” adalah prioritas utama kami.


Proses mengenal itu ada terus-menerus. Sebagai manusia, pasangan dan kita tetaplah dua individual yang berbeda. Dalam prosesnya, kami bisa saja tumbuh menjadi orang yang berbeda dari sekarang.


Yang kami inginkan--dan kami doakan, adalah bertumbuh bersama. Kalaupun kami tumbuh menjadi orang yang berbeda, semoga kami tetap bisa bersama.


Role model saya masih tetap: Saya ingin seperti Ayah yang bersama Ibu sampai akhirnya.


(Dan ujian hidup yang seru ini menyenangkan, selama kami bisa menjalaninya berdua).


Kalau Abang baca ini, iya, aku cinta padamu. 😌

Kalau buat teman-teman yang sudah menikah, apa saja yang jadi pertimbangan teman-teman? Siapa tahu ada geng super itungan kayak saya juga 😜


Semoga teman-teman dan pasangannya selalu diberkahi hal baik,
Mega


LANGGANAN NEWSLETTER DI SINI

Sebelum Menikah, Pertimbangkan 7 Hal Berikut Ini

Komentar

  1. Jadi mba mega dulu ketemu dan kenal dengan si abang di mana gitu? Saat itu sudah ada sparks gitu, kah?

    Aku setuju banget dengan trust your gut itu. Berapa kali terhindar dari masalah, because my gut said so XD. Tapi kadang ada juga sih yang kelewat. Seringnya di pertemanan, baru ketahuan kalau ga sefrekuensi setelah beberapa kali berinteraksi. Karena cuma teman ya gampang sih, ya. Tinggal jaga jarak aja. Tapi repot juga kalau sampai jodoh yg ga sefrekuensi ^^"

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahahahhaa.... percaya ato enggak, ketemunya di sosmed dulu, mba hicha. di parkiran itu ceritanya pas kopdar pertama. ga bisa dibilang sparks, tapi saya berkali-kali bilang ke diri sendiri, "kayaknya gak akan ngobrol lagi, gak akan ketemu lagi deh".

      Saya lebih cautious daripada biasa, karena waktu itu ada gut feeling yang bilang "nanti ketemu lagi", tapi saya denial. Kalo diceritain panjang, tapi yang pasti, insting saya bilang begitu... im glad i trust my gut sih, sejauh ini yaaa 😂

      emang bener ya ada hal di luar logika yang gak bisa kita ukur. Kalo kata saya sih itu gabungan intuisi dan Allah yang memberikan petunjuk buat kita.

      menurut saya selalu ada kemungkinan jodoh bisa gak sefrekuensi, apalagi nikah kan bakal lama ya, mungkin banget kalau nantinya kami outgrow with each other. makanya jadinya belajar terus gimana caranya untuk tetap menjaga ikatan yang ada dan tetap saling cinta dengan segala halangan yang ada... halah, gaya banget bahasanya padahal nikahnya baru. seenggaknya, itu takeaway yang saya dapetin 🤩

      Hapus
  2. Terima kasih kak buat sharingnya. Kegalauan menikah yang aku alami diumur yang sama kaya kakak dulu ternyata normal xD yaudah jalani aja masa sendiri ini dengan banyak2 mengembangkan diri. Mengenali diri, memaksimalkan peran yg udah dikasih Allah :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwk kalo dulu tuh ngerasa panikkk banget gitu, tapi kalau dipikir2, emang harus melewati masa seperti itu dulu biar bisa tenang ke sananya... pokoknya fokus ke diri sendiri dan nikmati aja yang sekarang ada, soalnya kalau udah nikah, beda lagi tantangannya :D makasih udah mampir ke sini ya, Lulu! 😄

      Hapus
  3. Saya juga lagi di fase galau mba. Umur udah 29, tapi saya masih amat sangat selow urusan nikah. Kalo orang lain ada yang tensian tiap nerima undangan, kalo saya tetep happy untuk mereka yang akan menjalani pernikahan. Kalau bisa dibilang, saya belum nemu big why-nya kenapa menikah. Satu-satunya yang saya tahu adalah nikah itu ibadah, dan Allah ingin kita begitu. Bahkan saya mulai bersiap untuk kemungkinan tidak menikah, karena menjaga diri agar ga down saat jodoh masih belum bertemu.

    Tapi, hari ini saya nemu bug why-nya. Saya ingin punya teman hidup, teman untuk bersuka cita dan bebagi semua rasa. Dan ajaibnya, malam ini saya membaca tulisan mba tentang pernikahan. Mungkin ini juga salah satu cara Allah untuk membantu saya menguatkan hati untuk menikah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haiii Mbak Feb! aku juga sempet merasakan yang mbak pikirkan. trus malah jadi muter2 sendiri heheu. Memang harus dibawa santai sih ya... dan tetep berdoa untuk yang terbaik tentunya. Saya yakin Allah memberikan jalan terbaik buat makhluk-Nya, entah bagaimana caranya. Semoga mbak juga diberikan penguatan hati serta persiapan yang baik untuk menghadapi masa depan dari-Nya. Allah beri yang terbaik! 🤗

      Hapus
  4. Wajar kok sangat perhitungan gitu mba. Namanya aja cari partner hidup :D. Daripada nyeseeeel ya kaaan :D.

    Aku sendiri alasan utama dulu, Krn mau ngurangin dosa hahahaha. Kemana2 kami berdua, traveling sampe Eropa berduaan juga, kdg ngerasa ga enak kalo ga dihalalin :D. Toh sama2 cocok, walopun utk bbrp hal kami bertolak belakang. Tapi aku juga ga bakal seneng kalo pasanganku selalu sama dlm hal apapun, itu bosenin :D. Bagus kalo ada yg berbeda, jadi ada variasi dlm hidup.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iyaaa mba, huhuhu. Tapi kalau misalnya kita udah memilih, tetep gak boleh nyesel gak sih? soalnya malah bikin kita berlarut-larut 😭 aku bener2 masih newbie soal ini. Nikah tuh emang serem yee, bareng2 terus sama satu orang untuk waktu lama. 🤣

      aku juga sempet takut pas ternyata suamiku punya banyak perbedaan denganku lebih dari yang kuperkirakan. but its fun. 😂 sekarang mau menikmati aja waktunya, seiring lebih lama bareng pasti bakal banyak hal yang berbeda maupun sejalan. hihihiii... semoga mbak Fanny dan pasangan selalu diberi kebahagiaan, ya!

      Hapus
    2. Suka banget ama kalimat Mba Fanny, Variasi Dalam Hidup, betulll banget!

      Hapus
  5. aku setuju kalau menikah bukan hanya antara sepasang cewek dan cowok aja, tapi juga menikahi keluarganya.
    memang ya kalau pas pacaran kayaknya tabu mau ngomongin duit, kecuali sudah ada rencana untuk menikah
    pastinya perlu hati yang mantap untuk menentukan apakah cowok tersebut the only one.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo pacaran, taunya mah dibayarin mbak, boro-boro mikirin cicilan, yaaa 🤣🤣

      saya sendiri nggak mikir bahwa si abang (waktu itu) is the only one. mungkin... mencoba berpikir lebih "enteng", biar gak kepikiran terus? dulu juga pernah mikir kalau si fulan dan si amin adalah my only one. nyatanya? my many ones kalik, hhahahaah (apa sih nenggg).

      ketika nggak berpikir apa-apa, malah ditunjukkan jalannya untuk merasa mantap (kiw). So, mungkin memang ketika waktunya tiba, akan benar-benar dimudahkan jalannya 🤣

      Hapus
  6. Sejujurnya nih ya, jujuurrrrr kek bubur kacang ijo gitu loh, hahaha.
    Woi serius Rey!

    Maksudnya, saya tuh ya sering iri, kalau membaca tulisan-tulisan anak-anak muda (i mean di bawah saya usianya :D) seperti ini.

    Di mana, ketika menikah, banyak hal yang dipertimbangkan.

    Karena jadi ngaca ke diri sendiri.
    Saya?
    Menikah?

    Ayo Kak, kita nikah, biar orang-orang itu berhenti tanya kapan nikah, terutama mama, hahaha.

    Sama sekali nggak ada yang saya pertimbangkan, selain kayak alasan Mba Fanny di atas, karena saya ama si pacar itu ke mana-mana setiap saat berduaaannnnnn mulu.

    meskipun masih di sekitar Surabaya aja ya, dan nggak pernah sampai nginap gitu.

    Tapi dulu tuh ya, sejak pacaran selama 8 tahun, bisa dibilang, nggak ada 1 haripun terlewatkan tanpa kami ketemu.

    Padahal ya, palingan keliling Surabaya aja, naik motor sampai pantat panas, hahaha.

    Tapi kasian gitu ama mama saya, dia tertekan dengan ucapan orang lain, dibilang saya kumpul kebo gitu, bahkan udah punya anak.

    Makanya, saya jadi pengen nikah, biar nggak perlu takut dosa, takut ngebebanin ortu.

    Sungguh ku polooossss, padahal ye, saya nikah di usia 27 tahun wakakakak.

    Tapi, kalau dipikir-pikir, mungkin karena saya udah 8 tahun pacaran ya, seharusnya saya udah kenal karakternya, 8 tahun itu bukan waktu yang sedikit loh, segala hal udah saya lakukan, kalau seandainya mau tau karakternya yang paling dalam.

    Satu-satunya yang bikin dia kesal sama saya, ketika baru-baru jadian, dan teman-teman laki saya, masih belum bisa move on suka gangguin saya, dia kesal kalau saya dekat lelaki lain, tapi kesalnya ya gitu aja, diam, dan mudah dirayu.

    Lalu, ketika saya menikah, di tahun ke-5 dia memutuskan mau nyerah, kayaknya saya jadi merasa apatis dengan teori mengenal karakter pasangan, bagaimana caranya kita kenal? sulit, sebelum kita benar-benar nikah deh.

    Karena bakal beda banget keadaan setelah menikah dan sebelum menikah.

    Namun, saya senang banget, melihat makoin ke sini, makin banyak anak-anak muda yang memang lebih dewasa dalam memutuskan menikah.

    Setidaknya ada yang dibahas, sebagai modal ketika menjalani pernikahan nanti, meskipun mungkin nggak akan pernah semuanya selalu berjalan sesuai rencana, tapi setidaknya, mempertimbangkan dan membahas hal-hal penting sebelum menikah itu, bikin menikah jadi lebih tenang dan siap mental :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. nah, kalau saya kan pacarannya bentar banget mbak rey. saya nggak pernah pacaran bertahun-tahun, jadi ga ada pengalaman sama sekali. kalau saya ada di posisi mbak rey, yang pacaran lama banget, bisa jadi saya juga memikirkan hal yang sama.

      tapi balik lagi, kalo ketemu setiap hari, kayaknya aku ga akan bisa pacaran selama itu mbak. 😂😂 mungkin karena ituuu ya jadinya ga pernah pengalaman pacaran lama...

      bener banget, keadaan setelah menikah dan sebelum menikah tuh bener-bener beda ya. pacaran belum tentu ngomongin nikah. kalo nikah ya mau gak mau pasti kebuka dan keobrolin semua.

      jadi hal itu juga yang saya wanti-wanti ke adik. jangan sampai mikirnya "karena udah lama, ya udah nikah aja". he he he. biar nggak kaget, biar lebih tenang, seperti kata mbak rey.... :D

      Hapus
  7. Wahhh seru bangett Mba Mega.. kerennn..
    Suka aku tuh baca2 ttg pengalaman pribadi orang2. Karena aku bisa dapat sudut pandang orang2 yg bikin sadar bahwa aku nggak perlu mengkhawatirkan diri sendiri.

    Jujur, kalau boleh cerita sedikit aku tinggal di lingkungan dimana kesuksesan dilihat ketika "sudah bekerja, menikah dan punya anak.." intinya kita bakal dipandang sebagai manusia seutuhnya ketika kita sudah berada di titik itu.

    semenjak Bapak nggak ada. Semakin kesini kalimat yg sering aku dnger adalah "bay, nggak mau nikah tah? Biar nggak sndirian di rumah..." bukannya baper si. Tapi pertanyaan seperti itu bikin nggak nyaman dan jelas ini hipokrit ya. Pertanyaan yang nggak butuh jawaban.. haha

    Smpat wondering kenapa mayoritas pertanyaan orang2 kita tuh kebanyakan nggak kreatif. Kenapa yg ditanyakan selalu seputar ranah pribadi. Padahal kan masing2 orang punya prinsip dan lain sebagainya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bahaha. Kok aku nulisnya hipokrit ya.. padahal maksudnya "retorik" .. ✌

      Hapus
    2. komen2 bayu ni gemes gemes deh (gak tau kenapa nganggap gitu padahal ga paham jg gemesnya gimana) hehehe thats a compliment loh. terima kasih udah berkunjung ya...

      begitulah, nggak cuma di tempat bayu, di indonesia dan asia tenggara secara umum sepertinya pencapaian memang seperti itu. Apalagi buat perempuan. pencapaian karir nggak ada artinya kalau belum menikah. Ada aja yang komen embel-embel "sayang belum nikah..."

      padahal belum tentu juga menikah adalah jalannya. kita nggak tahu, Tuhan lebih tahu hehe. Soalnya makin lama menikah (baru bentar sih), makin merasa kalau pernikahan itu memang baik, tapi tidak untuk semua orang.

      nggak nyaman jelas, kayak gak ada pertanyaan lain aja ya gak? water cooler conversation sih, jadinya aku pun kalo gak nyaman milih jauh-jauh aja supaya gak sering ditanyain :D

      Hapus

Posting Komentar